Free Widgets

Rabu, 02 Februari 2011

Kuliner di Brunei ( Tempat Bokap Russell)

Secara umum, kuliner Brunei sangat mirip dengan masakan Melayu (Malaysia, Padang, Riau, dan lain-lain). Karena itu, kebanyakan orang Brunei justru bingung bila ditanya tentang masakan khas Brunei. Paling-paling mereka akan menyebut nasi katok - yaitu nasi bungkus dengan lauk sambal dan ayam goreng.

Makanan murah meriah tersebut harganya hanya B$1 (sekitar Rp 7 ribu). Konon, sambalnya yang istimewa itu pertama kali diuleg oleh seorang pembantu rumah makan berasal dari Tatar Sunda. Katok (dibaca: ketuk!) adalah penamaan populer karena dulunya pembeli harus mengetuk rumah penjualnya untuk dapat membeli beberapa bungkus nasi itu.
Sarapan yang umum di Brunei adalah kopi tarik dan roti canai (prata). Roti canai bisa dimakan dengan taburan gula pasir, guyuran susu kental manis, atau juga dapat dicocol dengan kari (ayam, ikan, lembu, kambing, kentang, atau dhal). Tempat yang populer untuk ini adalah Iskandar Curry House – punya beberapa cabang. Di pasar dan warung-warung juga tersedia nasi lemak untuk sarapan.
Tempat sarapan dan ngopi yang juga populer adalah Chop Jing Chiew di Gadong. Ini adalah sebuah kopitiam (warung kopi djadoel yang terkenal dengan kopi dan roti kuning kahwin. Yang terakhir ini adalah roti tawar berwarna kekuningan, dibakar, diisi selai kaya dan irisan mentega beku. Chop Jin Chiew juga punya cabang di Bandar Seri Begawan, dan selalu ramai hingga petang hari.
Makanan tradisional Brunei (selera urang Brunei kitani) adalah ambuyat yang dibuat dari sagu. Bentuknya sangat mirip dengan papeda di Maluku dan Papua (pupeda di Ternate dan Tidore), tetapi warnanya putih (opaque), tidak bening. Ini hanya bergantung pada cara mengaduk ketika memasaknya. Bubur sagu ini disantap dengan berbagai lauk-pauk.

Aminah Arif Restaurant
(punya sembilan gerai di seluruh Brunei Darussalam) adalah tempat yang paling tepat untuk mencicipi ambuyat. Satu set ambuyat disajikan dengan pucuk ubi masak lemak (daun singkong dimasak dalam santan), ikan kembung goreng, sambal goreng, urat tumis, dan belutak. Belutak adalah sosis khas Brunei yang sangat saya sukai. Dibuat dari potongan daging yang dibumbui rempah dan asam, lalu dimasukkan ke dalam selongsong sosis dan dikeringkan. Sosis ini kemudian dipotong-potong dan ditumis sebentar dengan minyak. Rasa asam-gurihnya sangat khas.

Saking sukanya pada belutak, saya sempat berburu nasi goreng belutak di Frangipani Resto yang sangat jauh letaknya dari pusat bandar. Nasi goreng belutak itu sungguh sangat istimewa. Anehnya, belutak yang mak nyuss ini oleh orang Brunei malah tidak dianggap sebagai sajian yang istimewa. Mungkin mereka memang tidak menyadari bahwa belutak dapat dibangkitkan menjadi ikon kuliner penting bagi Brunei.

Beberapa restoran lain yang patut disinggahi adalah: I-Lotus (masakan Tionghoa) di Kampung Rimba, Shikai Restaurant (masakan Tionghoa) di Batu Bersurat, Thien Thien (nasi ayam hainan), Lee Loi Fat (rojak kangkong, cucur udang). Dua kedai terakhir ini punya banyak cabang di beberapa tempat.
Di malam hari, Gadong Night Food Stalls menjadi tujuan warga Brunei untuk makan malam yang murah meriah. Selain nasi katok yang banyak dijual, juga banyak penjual ikan dan ayam bakar. Anehnya, sekalipun Brunei terletak di pinggir laut, ternyata kebanyakan ikan yang dijual di situ diimpor beku dari India.
   
Telekomunikasi, Internet dan Media Massa
Brunei Darussalam memiliki dua perusahaan (operator, provider) telekomunikasi, yaitu: B-Mobile dan DTS. Layanan Blackberry baru mulai terselenggara sejak Desember 2010. Cukup mudah mendapat kartu SIM nomor lokal untuk akses komunikasi seluler.
Di Brunei ada surat kabar populer berbahasa Melayu, Media Permata, dan dua surat kabar berbahasa Inggris, yaitu The Borneo Bulletin dan The Brunei Times. Brunei juga memiliki satu staisun radio dan enem pemancar televisi. Sekalipun berstatus independen, media massa Brunei sangat pro-Pemerintah. Keluarga Sultan tidak "tersentuh" oleh pemberitaan negatif di media massa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar